Senin, 07 Oktober 2013

NYANYIAN PULAU GARAM

Kalau berbicara tentang garam, pasti yang terlintas di pikiran kita adalah benda Kristal putih yang rasanya asin. Siapa sih yang tak mengenalnya? Bahan yang hampir digunakan di semua jenis makanan tersebut sangat popular di mata masyarakat terutama kaum ibu-ibu. Bisa dipastikan semua makanan akan terasa hambar apabila tidak dibubuhi benda ajaib itu.
Namun dibalik keasinan garam, tentu membutuhkan kerja keras para petani garam untuk mampu mengubah air laut menjadi benda Kristal yang mengandung banyak mineral. Seperti yang dilansir situs resmi Kabupaten Sumenep Jawa Timur, proses pembuatan garam ini membutuhkan waktu kurang lebih enam bulan mulai dari Mei hingga Nopember, itupun kalau cuaca bisa diajak kerjasama
Sebagai Negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia, tentu minat masyarakat untuk menekuni profesi sebagai petani garam sangatlah besar. Di Sumenep misalnya seperti yang diberitakan Kabar Madura edisi 29 Juli 2013 ada sekitar 1850 hektare lahan mampu memproduksi hingga 180 ton garam. Jadi bertani garam menjadi pilihan yang cukup menjanjikan untuk memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Namun ironisnya, nasib petani garam saat ini tidak seputih garamnya. Petani harus menyimpan hasil panennya karena masih belum jelas pembelinya. Hasil panen untuk sementara mereka simpan di gudang penyimpanan. Pemerintah yang seharusnya memfasilitasi petani dan perusahaan hanya diam tanpa adanya tindakan. Bisa dipastikan perusahaan tidak akan membeli hasil panen petani karena stok garam impor masih sangat banyak. Bahkan stok garam petani tahun 2012 yang tak terbeli mencapai 40 – 50 ribu ton.  Penurunan angka produksi pun  menjadi pilihan petani agar tak mengalami kerugian yang lebih besar seperti Paguyuban Petani garam sumenep (Peras) yang harus menurunkan produksinya hingga 30 – 40 persen. (kabar Madura edisi 29 Juli 2013)
            Argumentasi yang berkembang saat ini sebagai alasan Pemerintah untuk lebih menggunakan produk impor adalah kualitas garam lokal yang kurang bagus. Garam impor memiliki kandungan Natrium Klorida (NaCl) mencapai 98% dengan tingkat kekotoran hanya 0,002 % Data itu menunjukkan kualitas garam yang lebih baik dari garam lokal.
            Kebijakan Kementerian Perdagangan dan Perindustrian tentang penetapan Harga Pokok Pemerintah (HPP) Garam sangatlah merugikan petani garam. Mengapa demikian, harga garam impor jauh lebih murah dan selisihnya berkisar Rp 150 sampai Rp 300 dari harga garam lokal yang harganya  mencapai Rp. 500 per kg. Hal ini akan menarik perhatian perusahaan untuk lebih melirik produk impor dengan kualitas baik tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Sebenarnya semuanya kembali kepada pembuat kebijakan. Pemerintah sudah seharusya memperhatikan nasib petani lokal. Sebetulnya petani lokal sangat mampu untuk memperbaiki kualitas garam hingga kulaitas terbaik sekalipun. Namun apakah Pemerintah siap memfasilitasi para petani untuk mengahasilkan produk unggulan tersebut hingga kita swasembada garam. Akhirnya kita berharap pemerintah mau mendengarkan nyanyian dari pulau garam untuk masa depan petani garam yang lebih baik.

Dimuat di Harian Kabar Madura Edisi Sabtu, 5 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar