Kalau berbicara tentang garam,
pasti yang terlintas di pikiran kita adalah benda Kristal putih yang rasanya
asin. Siapa sih yang tak mengenalnya? Bahan yang hampir digunakan di semua
jenis makanan tersebut sangat popular di mata masyarakat terutama kaum ibu-ibu.
Bisa dipastikan semua makanan akan terasa hambar apabila tidak dibubuhi benda
ajaib itu.
Namun dibalik keasinan garam,
tentu membutuhkan kerja keras para petani garam untuk mampu mengubah air laut
menjadi benda Kristal yang mengandung banyak mineral. Seperti yang dilansir
situs resmi Kabupaten Sumenep Jawa Timur, proses pembuatan garam ini
membutuhkan waktu kurang lebih enam bulan mulai dari Mei hingga Nopember, itupun
kalau cuaca bisa diajak kerjasama
Sebagai Negara yang memiliki
garis pantai terpanjang keempat di dunia, tentu minat masyarakat untuk menekuni
profesi sebagai petani garam sangatlah besar. Di Sumenep misalnya seperti yang
diberitakan Kabar Madura edisi 29 Juli 2013 ada sekitar 1850 hektare
lahan mampu memproduksi hingga 180 ton garam. Jadi bertani garam menjadi
pilihan yang cukup menjanjikan untuk memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Namun ironisnya, nasib petani
garam saat ini tidak seputih garamnya. Petani harus menyimpan hasil panennya karena
masih belum jelas pembelinya. Hasil panen untuk sementara mereka simpan di
gudang penyimpanan. Pemerintah yang seharusnya memfasilitasi petani dan
perusahaan hanya diam tanpa adanya tindakan. Bisa dipastikan perusahaan tidak
akan membeli hasil panen petani karena stok garam impor masih sangat banyak.
Bahkan stok garam petani tahun 2012 yang tak terbeli mencapai 40 – 50 ribu
ton. Penurunan angka produksi pun menjadi pilihan petani agar tak mengalami
kerugian yang lebih besar seperti Paguyuban Petani garam sumenep (Peras) yang
harus menurunkan produksinya hingga 30 – 40 persen. (kabar Madura edisi 29 Juli
2013)
Argumentasi yang berkembang saat ini sebagai alasan Pemerintah
untuk lebih menggunakan produk impor adalah kualitas garam lokal yang kurang
bagus. Garam impor memiliki kandungan Natrium Klorida (NaCl) mencapai 98%
dengan tingkat kekotoran hanya 0,002 % Data itu menunjukkan kualitas garam yang
lebih baik dari garam lokal.
Kebijakan
Kementerian Perdagangan dan Perindustrian tentang penetapan Harga Pokok
Pemerintah (HPP) Garam sangatlah merugikan petani garam. Mengapa demikian,
harga garam impor jauh lebih murah dan selisihnya berkisar Rp 150 sampai Rp 300
dari harga garam lokal yang harganya mencapai Rp. 500 per kg. Hal ini akan menarik
perhatian perusahaan untuk lebih melirik produk impor dengan kualitas baik
tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Sebenarnya semuanya kembali
kepada pembuat kebijakan. Pemerintah sudah seharusya memperhatikan nasib petani
lokal. Sebetulnya petani lokal sangat mampu untuk memperbaiki kualitas garam
hingga kulaitas terbaik sekalipun. Namun apakah Pemerintah siap memfasilitasi
para petani untuk mengahasilkan produk unggulan tersebut hingga kita swasembada
garam. Akhirnya kita berharap pemerintah mau mendengarkan nyanyian dari pulau
garam untuk masa depan petani garam yang lebih baik.
Dimuat di Harian Kabar Madura Edisi Sabtu, 5 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar