Tembakau sendiri tidak diketahui secara
pasti asal muasalnya, namun para ilmuwan percaya bahwa tanaman tersebut tumbuh
di benua Amerika sekitar 6000 tahun SM, yang diperkiran mulai dikomsumsi oleh
penduduk asli Amerika pada awal Masehi. Yang kemudian masuk ke Indonesia
sekitar abad ke 17 atau seiring dengan masuknya bangsa portugis ke Nusantara. (Divine Kretek, Rokok Sehat halaman 49 & 67).
Bagi masyarakat Madura sendiri, bertani tembakau menjadi kebiasaan yang turun
– temurun, bahkan harapan keuntungan yang cukup besar digantungkan pada tanaman
yang menjadi bahan baku pembuatan rokok tersebut. Tentu tidak hanya alasan
komersil, semangat kebersamaan ditunjukkan saat petani secara bergotong –
royong melinting hingga merajang daun tembakau sebagaimana diperlihatkan di
kampung – kampung.
Namun dalam beberapa tahun terakhir,
bertani tembakau sudah mulai tak menjanjikan bagi petani, persoalan cuaca yang
tak bersahabat ataupun persoalan regulasi di sejumlah daerah yang tak kunjung
selesai semakin menambah kegalauan petani tembakau. Belum lagi sejak disahkannya
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau pada 24 Desember 2012 semakin mempersempit ruang bagi tembakau di negeri ini.
Di Pamekasan
misalnya, regulasi tentang tata niaga tembakau sebagaimana diatur dalam
peraturan daerah (Perda) No. 6 tahun 2008 oleh sejumlah aktivis dipandang masih
belum memihak pada petani. Hal itu membuat aktivis PMII Pamekasan ngeluruk
dewan dan menuntut Bupati Pamekasan segera menetapkan standart harga termasuk juga
melakukan revisi terhadap sejumlah pasal pada Perda tersebut.(deliknews.com Edisi Rabu 2 Oktober 2013)
Persoalan lain
yang menarik di Madura adalah menurunnya produksi tembakau tahun ini, sebagaimana
diberitakan tempo.co pada 31 Agustus 2013 produksi tembakau di
pamekasan mencapai 10% dari total 29 ton kuota normal per
tahunnya. Tempo juga mencatat hal
yang sama di Kabupaten Sumenep, seperti yang diberitakan pada 6 September 2013, ada sekitar 4000
hektare tanaman tembakau petani gagal panen dan hanya mampu mencapai 40 % dari
target 10 – 11 ribu ton per hektare. Anomali cuaca disebutkan sebagai penyebab
menurunannya jumlah produksi tersebut.
Masalah cuaca memang menjadi
persoalan tersendiri bagi petani. Padahal cuaca yang baik akan berbanding lurus
dengan kualitas tembakau dan hasil produksi. Maka sudah seharusnya jika
petani tahu banyak perihal seluk beluk
cuaca. Sebagaimana kita ketahui tanaman tembakau merupakan jenis tanaman yang
tumbuh di musim kemarau yang biasanya berlangsung mulai April hingga September.
Namun patokan tersebut tak selalu benar karena terjadi pergeseran musim beberapa
tahun terakhir.
Di Negara kita sebenarnya sudah ada lembaga khusus yang membidangi perihal iklim maupun cuaca yakni Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau yang lebih dikenal dengan BMKG. Namun sejauh ini peranannya dalam memberikan informasi tentang iklim maupun cuaca kepada petani sangatlah minim. Hampir dipastikan sejumlah petani di berbagai daerah masih menggunakan prediksinya sendiri.
Tentu kita tidak boleh terlalu
menyalahkan BMKG karena sebetulnya di sejumlah daerah sudah ada beberapa
instansi pemerintah yang memiliki tanggung jawab memberikan penyuluhan terhadap
petani. Seharusnya instansi tersebut menjadi jembatan untuk mensosialisasikan prediksi
cuaca atau musim oleh BMKG kepada petani melalui kelompok – kelompok tani yang
ada, agar para petani tidak salah dalam memulai masa tanam tembakau mereka.
Kita berharap ke depan ada perhatian
khusus dari pemerintah terhadap para petani tembakau termasuk menyediakan
regulasi yang pro rakyat serta penyediaan informasi yang memadai guna
meningkatkan kualitas dan hasil produksi dan tentunya akan memberikan
kesejahteraan kepada petani.
Dimuat di Harian Kabar Madura Edisi 16 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar