Sabtu, 19 Oktober 2013
SI KECIL MUNGIL TANPA BELAS KASIHAN
Si kecil itu...
Tubuhnya mungil...
Menggigil...
Melawan dingin...
Melawan kerasnya hidup..
Hingga rembulan redup...
Si kecil itu...
Hanya bisa tertunduk
Hingga malam suntuk...
Melawan kantuk...
Menjajakan dagangan...
Untuk sebutir makanan...
Sementara disana..
Si orang tua tanpa rasa iba...
Menghardiknya...
Mempekerjakannya...
Laksana babu...
Kasih sayang...
Kelembutan...
Manisnya hidup...
Tenggelam bersama gelapnya malam...
Disudut kota bersama keramaian...
Surabaya, 18 Oktober 2013
PROBLEMATIKA TEMBAKAU DI MADURA
Daun emas, begitulah
masyarakat Madura sering menyebut dan menamai daun tembakau. Entah apa alasannya mereka memberikan embel –
embel emas pada daun penghasil zat nikotin tersebut, mungkin karena tembakau
mampu memberikan keuntungan yang cukup besar sehingga istilah daun emas dianggap layak disematkan pada
daun tembakau.
Di Negara kita sebenarnya sudah ada lembaga khusus yang membidangi perihal iklim maupun cuaca yakni Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau yang lebih dikenal dengan BMKG. Namun sejauh ini peranannya dalam memberikan informasi tentang iklim maupun cuaca kepada petani sangatlah minim. Hampir dipastikan sejumlah petani di berbagai daerah masih menggunakan prediksinya sendiri.
Tembakau sendiri tidak diketahui secara
pasti asal muasalnya, namun para ilmuwan percaya bahwa tanaman tersebut tumbuh
di benua Amerika sekitar 6000 tahun SM, yang diperkiran mulai dikomsumsi oleh
penduduk asli Amerika pada awal Masehi. Yang kemudian masuk ke Indonesia
sekitar abad ke 17 atau seiring dengan masuknya bangsa portugis ke Nusantara. (Divine Kretek, Rokok Sehat halaman 49 & 67).
Bagi masyarakat Madura sendiri, bertani tembakau menjadi kebiasaan yang turun
– temurun, bahkan harapan keuntungan yang cukup besar digantungkan pada tanaman
yang menjadi bahan baku pembuatan rokok tersebut. Tentu tidak hanya alasan
komersil, semangat kebersamaan ditunjukkan saat petani secara bergotong –
royong melinting hingga merajang daun tembakau sebagaimana diperlihatkan di
kampung – kampung.
Namun dalam beberapa tahun terakhir,
bertani tembakau sudah mulai tak menjanjikan bagi petani, persoalan cuaca yang
tak bersahabat ataupun persoalan regulasi di sejumlah daerah yang tak kunjung
selesai semakin menambah kegalauan petani tembakau. Belum lagi sejak disahkannya
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau pada 24 Desember 2012 semakin mempersempit ruang bagi tembakau di negeri ini.
Di Pamekasan
misalnya, regulasi tentang tata niaga tembakau sebagaimana diatur dalam
peraturan daerah (Perda) No. 6 tahun 2008 oleh sejumlah aktivis dipandang masih
belum memihak pada petani. Hal itu membuat aktivis PMII Pamekasan ngeluruk
dewan dan menuntut Bupati Pamekasan segera menetapkan standart harga termasuk juga
melakukan revisi terhadap sejumlah pasal pada Perda tersebut.(deliknews.com Edisi Rabu 2 Oktober 2013)
Persoalan lain
yang menarik di Madura adalah menurunnya produksi tembakau tahun ini, sebagaimana
diberitakan tempo.co pada 31 Agustus 2013 produksi tembakau di
pamekasan mencapai 10% dari total 29 ton kuota normal per
tahunnya. Tempo juga mencatat hal
yang sama di Kabupaten Sumenep, seperti yang diberitakan pada 6 September 2013, ada sekitar 4000
hektare tanaman tembakau petani gagal panen dan hanya mampu mencapai 40 % dari
target 10 – 11 ribu ton per hektare. Anomali cuaca disebutkan sebagai penyebab
menurunannya jumlah produksi tersebut.
Masalah cuaca memang menjadi
persoalan tersendiri bagi petani. Padahal cuaca yang baik akan berbanding lurus
dengan kualitas tembakau dan hasil produksi. Maka sudah seharusnya jika
petani tahu banyak perihal seluk beluk
cuaca. Sebagaimana kita ketahui tanaman tembakau merupakan jenis tanaman yang
tumbuh di musim kemarau yang biasanya berlangsung mulai April hingga September.
Namun patokan tersebut tak selalu benar karena terjadi pergeseran musim beberapa
tahun terakhir.
Di Negara kita sebenarnya sudah ada lembaga khusus yang membidangi perihal iklim maupun cuaca yakni Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau yang lebih dikenal dengan BMKG. Namun sejauh ini peranannya dalam memberikan informasi tentang iklim maupun cuaca kepada petani sangatlah minim. Hampir dipastikan sejumlah petani di berbagai daerah masih menggunakan prediksinya sendiri.
Tentu kita tidak boleh terlalu
menyalahkan BMKG karena sebetulnya di sejumlah daerah sudah ada beberapa
instansi pemerintah yang memiliki tanggung jawab memberikan penyuluhan terhadap
petani. Seharusnya instansi tersebut menjadi jembatan untuk mensosialisasikan prediksi
cuaca atau musim oleh BMKG kepada petani melalui kelompok – kelompok tani yang
ada, agar para petani tidak salah dalam memulai masa tanam tembakau mereka.
Kita berharap ke depan ada perhatian
khusus dari pemerintah terhadap para petani tembakau termasuk menyediakan
regulasi yang pro rakyat serta penyediaan informasi yang memadai guna
meningkatkan kualitas dan hasil produksi dan tentunya akan memberikan
kesejahteraan kepada petani.
Dimuat di Harian Kabar Madura Edisi 16 Oktober 2013
Selasa, 08 Oktober 2013
KETIKA KETUA MK MENJADI TERSANGKA
Operasi Tangkap Tangan Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada
2 Oktober 2013 lalu menampar wajah
Peradilan konstitusi Negeri ini. Bagaimana tidak, Lembaga peradilan tertinggi
yang selama ini kredibilitasnya tak diragukan lagi sebagai tempat untuk
memperoleh keadilan yang sebenarnya, kini pudar sudah setelah operasi tangkap
tangan itu.
Tentu hal ini sangat disayangkan oleh
semua pihak, terutama mantan ketua MK Mahfud
MD, Mahfud dalam komentarnya di Harian
Surya Edisi Jumat 4 Oktober 2013
mengatakan bahwa dirinya sangat kecewa dengan tingkah koleganya itu, karena lembaga
yang selama ini dia bangun dengan susah payah harus hilang pamornya karena tindakan
tak terpuji Akil.
Dan seiring berjalannya waktu, KPK
akhirnya menyematkan status kramat kepada Akil Muchtar yaitu status Tersangka dua kasus dugaan suap sengketa
pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada Kamis
3 Oktober 2013. Sebagaimana kita ketahui, ketika seseorang sudah disematkan
status tersangka oleh KPK, hampir dipastikan akan sulit lepas dari status
tersebut walaupun penetapannya bukan di hari jumat keramat, sebagaimana KPK
menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka.
Yang menarik untuk kita renungkan adalah
bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang beralamat
di jalan Medan Merdeka itu. Terutama dalam hal penanganan sengketa pemilukada
di sejumlah daerah. Apalagi pada 9 April
2014 mendatang kita akan dihadapkan pada pesta demokrasi yang akan berlangsung
di seluruh pelosok negeri yang pastinya tidak
akan lepas dari sengketa yang akan dimeja hijaukan di Mahkamah konstitusi.
Bayang – bayang penyuapanpun tidak
akan lepas dari benak hakim konstitusi yang akan menangani sejumlah sengketa
tersebut, Karena uang penanganan sengketa yang hanya Rp. 5 Juta/sengketa sangat
kecil dibandingkan uang suap yang ditawarkan oleh para oknum Calon Legislatif
(Caleg) dan oknum calon Kepala Daerah yang nilainya hingga miliyaran rupiah. Tentu
kita tidak ingin para hakim kita terlena dengan bujukan dan rayuan sejumlah
oknum caleg dan oknum calon Kepala Daerah yang ingin memperebutkan kursinya
dengan cara tidak halal tersebut.
Tak pelak seorang Mahfud MD pun
meminta lembaga yang pernah dipimpinnya selama lima tahun tersebut agar
dibubarkan saja, walaupun kemudian Mahfud menarik kembali ucapannya dan
mengatakan bahwa MK tak mungkin dibubarkan. Kita tahu, seorang mahfud MD adalah
tokoh yang sangat berhati – hati dalam berkomentar, bahkan ketika akil dilanti
menjadi ketua MK, Mahfud meminta akil tidak banyak berkomentar di Media. Namun
dalam kasus ini mungkin mahfud sangat kecewa dengan akil sampai – sampai isu
pembubaran MK pun diutarakannya. (Republika
Online, 3 dan 6 Oktober 2013)
Mengembalikan kepercayaan yang runtuh
tentu tak semudah membangun kepercayaan. Bak seorang mantan maling yang
bertobat akan lebih mudah dipercaya dari pada mantan ustad yang bertobat.
Namun, kita harus yakin bahwa akan ada perubahan yang lebih baik di tubuh MK ke
depannya asal benar – benar selektif dalam memilih hakim Konstitusi. Tidak
hanya pertimbangan intelektual, namun pertimbangan emosional dan spiritual
harus menjadi pilihan utama. Cara – cara politispun harus ditinggalkan
mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang harus benar – benar
Independen.
Tentu kita berharap Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perpu) yang sudah disiapkan Presiden yang
antara lain akan mencakup aturan mengenai persyaratan dan Mekanisme seleksi
hakim MK akan mampu memperbaiki nama Mahkamah Konstitusi yang mulai buram
karena Ulah akil Muchtar. Dan Semoga ke depan MK kembali menjadi lembaga yang
paling dihormati dan disegani yang mampu memberikan keadilan ditengah keterpurukan
demokrasi dan kebobrokan penegakan hukum di negeri ini.
Dimuat di harian kabar madura edisi Selasa 8 Oktober 2013
Senin, 07 Oktober 2013
NYANYIAN PULAU GARAM
Kalau berbicara tentang garam,
pasti yang terlintas di pikiran kita adalah benda Kristal putih yang rasanya
asin. Siapa sih yang tak mengenalnya? Bahan yang hampir digunakan di semua
jenis makanan tersebut sangat popular di mata masyarakat terutama kaum ibu-ibu.
Bisa dipastikan semua makanan akan terasa hambar apabila tidak dibubuhi benda
ajaib itu.
Namun dibalik keasinan garam,
tentu membutuhkan kerja keras para petani garam untuk mampu mengubah air laut
menjadi benda Kristal yang mengandung banyak mineral. Seperti yang dilansir
situs resmi Kabupaten Sumenep Jawa Timur, proses pembuatan garam ini
membutuhkan waktu kurang lebih enam bulan mulai dari Mei hingga Nopember, itupun
kalau cuaca bisa diajak kerjasama
Sebagai Negara yang memiliki
garis pantai terpanjang keempat di dunia, tentu minat masyarakat untuk menekuni
profesi sebagai petani garam sangatlah besar. Di Sumenep misalnya seperti yang
diberitakan Kabar Madura edisi 29 Juli 2013 ada sekitar 1850 hektare
lahan mampu memproduksi hingga 180 ton garam. Jadi bertani garam menjadi
pilihan yang cukup menjanjikan untuk memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Namun ironisnya, nasib petani
garam saat ini tidak seputih garamnya. Petani harus menyimpan hasil panennya karena
masih belum jelas pembelinya. Hasil panen untuk sementara mereka simpan di
gudang penyimpanan. Pemerintah yang seharusnya memfasilitasi petani dan
perusahaan hanya diam tanpa adanya tindakan. Bisa dipastikan perusahaan tidak
akan membeli hasil panen petani karena stok garam impor masih sangat banyak.
Bahkan stok garam petani tahun 2012 yang tak terbeli mencapai 40 – 50 ribu
ton. Penurunan angka produksi pun menjadi pilihan petani agar tak mengalami
kerugian yang lebih besar seperti Paguyuban Petani garam sumenep (Peras) yang
harus menurunkan produksinya hingga 30 – 40 persen. (kabar Madura edisi 29 Juli
2013)
Argumentasi yang berkembang saat ini sebagai alasan Pemerintah
untuk lebih menggunakan produk impor adalah kualitas garam lokal yang kurang
bagus. Garam impor memiliki kandungan Natrium Klorida (NaCl) mencapai 98%
dengan tingkat kekotoran hanya 0,002 % Data itu menunjukkan kualitas garam yang
lebih baik dari garam lokal.
Kebijakan
Kementerian Perdagangan dan Perindustrian tentang penetapan Harga Pokok
Pemerintah (HPP) Garam sangatlah merugikan petani garam. Mengapa demikian,
harga garam impor jauh lebih murah dan selisihnya berkisar Rp 150 sampai Rp 300
dari harga garam lokal yang harganya mencapai Rp. 500 per kg. Hal ini akan menarik
perhatian perusahaan untuk lebih melirik produk impor dengan kualitas baik
tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Sebenarnya semuanya kembali
kepada pembuat kebijakan. Pemerintah sudah seharusya memperhatikan nasib petani
lokal. Sebetulnya petani lokal sangat mampu untuk memperbaiki kualitas garam
hingga kulaitas terbaik sekalipun. Namun apakah Pemerintah siap memfasilitasi
para petani untuk mengahasilkan produk unggulan tersebut hingga kita swasembada
garam. Akhirnya kita berharap pemerintah mau mendengarkan nyanyian dari pulau
garam untuk masa depan petani garam yang lebih baik.
Dimuat di Harian Kabar Madura Edisi Sabtu, 5 Oktober 2013
Langganan:
Postingan (Atom)