Sebuah
tragedi memilukan kembali mengisi catatan perjalanan pers di Negara kita.
Kebebasan pers yang selama ini didengungankan patut kita pertanyakan
keberadaannya. Ketika kekerasan terhadap wartawan sebagai insan pers dan
pembredelan terhadap media sebagai perusahaan pers masih dihalalkan, maka
perlindungan terhadap pers patut kita ragukan.
Yang masih hangat di telinga kita adalah
kasus pemukulan terhadap wartawan SindoTV yakni Sukron saat meliput aksi demonstrasi
Mahasiswa Trisakti di depan Istana Negara pada 22 Mei 2013 lalu, sukron
dipukuli hingga lebam di bawah mata kanan. Belum genap satu bulan, Trggedi
kembali terjadi, tepatnya 17 Juni 2013,
seorang wartawan Trans7 Anton Nugroho menjadi korban aksi penembakan saat meliput aksi demonstrasi menolak
kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jambi. Anton terkena pecahan proyektil gas
air mata yang ditembakkan oknum petugas kepolisian polda Jambi yang mebuatnya
jatuh tergeletak. Dan yang paling baru adalah pengrusakan salah satu fasilitas kantor
Radar
Madura yang terletak di jalan Halim Perdana Kusuma, Bangkalan.
Sekelompok orang yang tidak diketahui asal – usulnya datang dengan nada marah
mencari salah satu wartawan, diduga terkait pemberitaan. (detik.com)
Ironis memang ketika di era reformasi seperti saat ini kejadian seperti itu masih sering terjadi.Mengingat sejak digulingkannya rezim orde baru, kebebasan pers sudah ramai didengungkan. Tentunya kita tidak menginginkan pembredelan atau pembungkaman yang menimpa media pada masa orde baru kembali terulang. Karena bagaimanapun peran pers sebagai social control sangat mutlak dibutuhkan untuk kemajuan suatu Negara.
Adalah bukan seperti itu caranya jika kita ingin melakukan kritik terhadap pemberitaan. Dalam kode etik jurnalistik yang dikeluarkan oleh dewan pers sudah sangat jelas kalau pers memberikan ruang yang seluas – luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan hak jawab ataupun hak koreksi seperti yang termaktub dalam pasal 11 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI). Wartawan sebagai pencari berita di lapangan dilindungi oleh UU Pers No. 40 tahun 1999 seperti yang termaktub dalam Pasal 8 Undang – undang tersebut bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum
Tentu kita tidak menginginkan kebebasan pers ternodai oleh tindakan pihak - pihak yang arogan. Karena bagaimanapun dan dengan alasan apapun kekerasan tidak dibenarkan. Namun kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan mereka yang melakukan tindakan – tindakan yang arogan tersebut, mengingat masih minimnya sosialisasi tentang Kode Etik Jurnalistik maupun UU Pers No. 40 tahun 1999. Sehingga mereka yang berpendidikan tinggi pun belum banyak mengetahui. Tentunya Dewan Pers serta media harus semakin gencar untuk mensosialikan Undang – undang tersebut di atas.
Ironis memang ketika di era reformasi seperti saat ini kejadian seperti itu masih sering terjadi.Mengingat sejak digulingkannya rezim orde baru, kebebasan pers sudah ramai didengungkan. Tentunya kita tidak menginginkan pembredelan atau pembungkaman yang menimpa media pada masa orde baru kembali terulang. Karena bagaimanapun peran pers sebagai social control sangat mutlak dibutuhkan untuk kemajuan suatu Negara.
Adalah bukan seperti itu caranya jika kita ingin melakukan kritik terhadap pemberitaan. Dalam kode etik jurnalistik yang dikeluarkan oleh dewan pers sudah sangat jelas kalau pers memberikan ruang yang seluas – luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan hak jawab ataupun hak koreksi seperti yang termaktub dalam pasal 11 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI). Wartawan sebagai pencari berita di lapangan dilindungi oleh UU Pers No. 40 tahun 1999 seperti yang termaktub dalam Pasal 8 Undang – undang tersebut bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum
Tentu kita tidak menginginkan kebebasan pers ternodai oleh tindakan pihak - pihak yang arogan. Karena bagaimanapun dan dengan alasan apapun kekerasan tidak dibenarkan. Namun kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan mereka yang melakukan tindakan – tindakan yang arogan tersebut, mengingat masih minimnya sosialisasi tentang Kode Etik Jurnalistik maupun UU Pers No. 40 tahun 1999. Sehingga mereka yang berpendidikan tinggi pun belum banyak mengetahui. Tentunya Dewan Pers serta media harus semakin gencar untuk mensosialikan Undang – undang tersebut di atas.
Sebagai pilar keempat demokrasi keberadaan Pers sangat krusial dalam mengawal kebijakan pemerintah. Oeh karena itu, kebebasan pers yang bertanggung jawab harus kita junjung tinggi sehingga ancaman intimidasi terhadap pers tidak lagi terdengar.