Rabu, 13 Maret 2013

DEMOKRAT SEPENINGGAL ANAS


Perubahan status hukum Anas Urbaningrum menjadi tersangka dan keputusannya memundurkan diri dari Partai Demokrat merupakan topik yang masih hangat untuk diperbincangkan. Mengingat Anas (sapaan akrabnya) merupakan ketua Umum dari Partai Demokrat yang merupakan partai pemenang pemilu 2009 yang berhasil mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden Republik Indonesia. Apalagi penetapan Anas sebagai tersangka dinilai cacat hukum dan terkesan adanya intervensi dari penguasa seperti yang disampaikan dalam pidato pegunduran dirinya pada Sabtu 23 Februari 2013 seperti dikutip dari detikcom.

Tuduhan tindak pidana korupsi Anas mulai mencuat ketika Nazaruddin yang merupakan mantan bendahara umum partai demokrat dalam pelariannya pada pertengahan tahun 2011 lalu menyebut – nyebut Anas terlibat dalam skandal korupsi di kemenpora atau yang lebih dikenal dengan proyek hambalang. Bagaimana tidak, proyek yang diperkirakan menghabiskan 2,3 triliun itu juga menjerat beberapa tokoh sentral partai Demokrat seperti Andi Mallarangeng dan Angelina Sondakh.

Kini nyanyian Nazaruddin sepertinya akan jadi sesuatu yang nyata dan bukan hanya nyanyian belaka seperti yang diungkapkan beberapa pengamat kala itu, karna satu persatu pihak yang disebut – sebut Nazaruddin terlibat dalam proyek besar tersebut  mulai menemukan titik terang. Berawal dari penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka, kini Anas yang meminta untuk digantung di Monumen Nasional (Monas) apabila terbukti korupsi proyek hambalang, sepertinya harus menarik kembali ucapannya kala itu. Mengingat status hukum yang diberikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan status kramat yang siapapun akan sulit terlepas dari jeratan hukum apabila status itu disematkan pada dirinya.

Penetapan Anas sebagai tersangka memang cukup menuai pro dan kontra. Bagaimana tidak, Anas yang selama kurang lebih dua setengah tahun menahkodai partai demokrat harus diambil alih kekuasaannya oleh majelis tinggi PD. Alasan mereka adalah kasus yang menjerat sang ketua umum ditenggarai sebagai penyebab turunnya elektabilitas partai demokrat yang terjun bebas menjadi 8%.  Adalah pernyataan ketua majelis tinggi (SBY) yang disebut – sebut oleh sebagian pengamat dan loyalis Anas sebagai sebuah intervensi terhadap kasus yang didera mantan PB HMI itu. SBY yang juga menjabat sebagai presiden Republik Indonesia saat ini memang memiliki pengaruh besar untuk bisa mendesak KPK untuk segera menyelesaikan kasus hukum Anas.

Bertolak dari hal itu, tentu yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana Partai Demokrat sepeninggal Anas? Diakui atau tidak, Anas yang dianggap sebagai bayi yang tidak diharapkan itu, tidak bisa kita anggap remeh. Dia adalah tokoh muda penuh kharisma yang namanya melanglang buana di seantero pelosok nusantara. Anas yang pada kongres partai demokrat 2010 lalu mengalahkan pesaing – pesaingnya sekelas Andi Mallarangeng dan Marzukie ali tidak bisa kita anggap suatu yang kebetulan tapi karena strategi politiknya yang bagus dengan ribuan loyalis. Maka dapat dipastikan akan ada perubahan yang cukup signifikan sepeninggal Anas dari demokrat.

Lalu kepada siapakah posisi Ketua Umum akan berlabuh? Dari pemberitaan Yang santer di beberapa media lokal maupun nasional, nama Edhie Baskoro Yudhyono (Ibas) digadang – gadang sebagai salah satu calon pemegang tahta kepemimpinan partai Demokrat, apalagi Sekjen Partai Demokrat itu baru saja mengundurkan diri dari Dewan Perwakilan Rakyat yang dinilai sebagai tindakan yang cukup bagus oleh para loyalisnya ditambah lagi pernyataan Ruhut Sitompul di beberapa stasiun televisi yang mengatakan Ibas selalu pantas. Tentu kita juga harus ingat, menantu Menko perekonomian itu adalah putra dari pendiri partai berelambang mercy tersebut. Kalau bukan pada anaknya mau diwariskan kepada siapa lagi?
           

KEBEBASAN PERS YANG MEMPERIHATINKAN

Baru – baru ini secara beruntun beberapa media di Madura dihantui berbagai ancaman. Sebut saja Harian Radar Madura biro Pamekasan yang salah satu wartawannya harus memperkarakan kepala kemenagPamekasan karena tindakannya yang arogan yaitu mengancam salah satu wartawan. Nasib yang sama juga dialami JawaPos TV (JTV) biro Pamekasan yang pada 9 Januari 2013 lalu harus dijaga ketat aparat karena Tim Sukses Salah satu Pasangan Calon (Paslon) yang bertarung dalam Pilkada Pamekasan mengancam akan melakukan pengrusakan apabila JTV tidak menghentikan penayangan terkait hasil Quick Count Proximity yang memenangkanLawannya.
Ironis memang ketika di era reformasi seperti saat ini kejadian seperti itu masih sering terjadi.Mengingat sejak digulingkannya rezim orde baru, kebebasan pers sudah ramai didengungkan. Tentunya kita tidak menginginkan pembredelan atau pembungkaman yang menimpa media pada masa orde baru kembali terulang. Karena bagaimanapun peran pers yang sebagai social control sangat mutlak dibutuhkan untuk kemajuan suatu Negara.
Adalah bukan seperti itucaranya jika kita ingin melakukan kritik terhadap pemberitaan. Dalam kode etik jurnalistik yang dikeluarkan oleh dewan pers sudah sangat jelas kalau pers memberikan ruang yang seluas – luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan hak jawab ataupun hakkoreksi seperti yang termaktub dalam pasal 11 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) yang pastinya menggunakan prosedur yang berlaku.
Tentu kita masih ingat kasus yang menimpa Majalah Tempo yang diadukan oleh Rizal Mallarangeng kepada Dewan Pers terkait cover Majalah Tempo yang menggambarkan dia ikut menggotong dolar bersama saudara kandungnya mantan menpora Andi Mallarangeng danChoel Mallarangeng  (ANTARA News). Itu adalah salah satu contoh yang perlu ditiru oleh kita kaum-kaum berpendidikan yaitu apabila ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh media secara umum atau wartawan secara khusus kita mengadukannya kepada Dewan Pers yang akan diproses sesuai perundang-undangan yang beraku. Bukan melakukan intimidasi, demonstrasi atau pun melakukan pengrusakan terhadap media yang bersangkutan.
Tentu kita tidak menginginkan kebebasan pers ternodai oleh tindakan beberapa pihak yang arogan. Karena bagaimanapun dan dengan alasan apapun kekerasan tidak dibenarkan. Bukankah akan lebih indah jika kita duduk satu meja dan mengungkapkan uneg-uneg kita terhadap pemberitaan salah satu media. Sehingga dengan cepat bisa dianalisa dan diputuskan benar atau salahnya pemberitaan. Sehingga juga bisa dirilis hasilnya, dan media juga akan melakukan permintaan maaf di media yang bersangkutan apabila memang benar-benar terjadi kesalahan.
            Namun kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan mereka yang melakukan tindakan – tindakan yang arogan mengingat masih minimnya sosialisasi tentang Kode Etik Jurnalistik maupunUU Pers No. 40 tahun 1999. Sehingga mereka yang berpendidikan tinggi pun belum banyak mengetahui.
            Di era Keterbukaan informasi public dan Sebagai pilar keempat demokrasi keberadaan Pers sangat krusial dalam mengawal kebijakan pemerintah. Oeh karena itu, kebebasan pers yang bertanggung jawab harus kita junjung tinggi sehingga ancaman intimidasi terhadap pers tidak lagi terdengar.