Kamis, 19 April 2012

Ujian Nasional Vs Pendidikan karakter


Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan saat ini sudah tidak sesuai dengan tujuannya. Pendidikan yang seharusnya membentuk pribadi-pribadi yang unggul dan berkarakter kuat, justru menghasilkan pribadi yang lemah dan rentan terhadap pengaruh perubahan. Tak jarang kita temui, pelanggaran moral terjadi dimana-mana, tawuran dan prilaku seks bebas seakan mewarnai kehidupan remaja yang nota bene mereka adalah kaum-kaum pelajar.
Realita-realita diatas, rupanya membuka hati stake holders di negara kita, mereka menyadari bahwa kemerosotan moral merupakan sebuah ancaman besar terhadap keberlangsungan generasi penerus bangsa. Mereka mengharapkan generasi yang tangguh untuk melanjutkan bangsa yang besar ini untuk tetap berkibar di muka bumi. Akhirnya, mereka sebagai pemangku jabatan mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang diharapkan mampu memperbaiki sistem pendidikan di negara kita. Pendidikan berbasis karakter adalah sebuah pilihan yang merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan siswa unggul berprestasi yang juga memiliki karakter yang kuat  untuk menyongsong bangsa indonesia yang bermartabat.
Kenapa harus pendidikan berkarakter?
 Mahatma gandhi mengatakan, ada tujuh dosa besar di dunia yang salah satunya adalah “ Pengetahuan tanpa karakter (knowledge without character”. Hal ini dimaksudkan bahwa pengetahuan yang tidak dilandasi karakter(akhlak), justru akan membawa manusia ke arah perbuatan yang negatif yang akan merugikan orang lain. Contoh konkret yang marak terjadi di negara kita adalah prilaku korupsi yang dilakukan oleh para penguasa. Mereka adalah kaum-kaum berpendidikan yang menyalahgunakan jabatan karena kurangnya pendidikan moral dalam dirinya. Jadi, pendidikan karakter sangat sesuai dengan kondisi Indonesia yang mengalami krisis moral dan krisis keteladanan.
Namun yang menjadi persoalan sekarang adalah masih berlakunya sistem pendidikan yang bertolak belakang dengan pendidikan karakter, sistem pendidikan saat ini hanya mengedepankan aspek intelektual tanpa memperhatikan aspek emosional dan spiritual. Penerimaan Siswa baru misalnya, mereka yang mepunyai kemampuan lebih dalam hal kecerdasan (pintar) akan memiliki peluang untuk diterima di sekolah-sekolah favorit tanpa memperhatikan kepribadiannya. Lebih ironisnya lagi, adalah ketika Ujian Nasional menjadi sebuah syarat kelulusan, hal inipun sama sekali tidak memperhatikan aspek kepribadian, hanya mengedepankan nilai yang dihasilkan dari empat puluh atau lima puluh soal ujian atau dari nilai sekolah yang banyak dimanipulasi oleh orang-orang yang berkepentingan. Praktek yang dilakukan dalam ujian nasionalpun mengugurkan pendidikan moral yang telah tertanam. Pelaksanaannya syarat dengan kebohongan, contek masal kerap terjadi karena mengharap kelulusan. Guru yang seharusnya memberikan teladan malah menjadi dalang penyimpangan.
 Tentu tidak akan ada hasilnya pendidikan moral apabila sistem pendidikan saat ini masih dipertahakan. Rekam jejak pelaksanaanyapun  menuai permasalahan dan juga menghabiskan banyak anggaran. Akhirnya, kita harus menyadari bangsa pendidikan karakter tidak hanya didukung oleh kurikulum yang berbasis karakter tapi  juga harus didukung dengan sistem pendidikan yang relevan.
                                                           

Dimuat di harian Radar Madura edisi senin 19 Maret 2012