Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan saat ini sudah tidak sesuai dengan
tujuannya. Pendidikan yang seharusnya membentuk pribadi-pribadi yang unggul dan
berkarakter kuat, justru menghasilkan pribadi yang lemah dan rentan terhadap
pengaruh perubahan. Tak jarang kita temui, pelanggaran moral terjadi
dimana-mana, tawuran dan prilaku seks bebas seakan mewarnai kehidupan remaja
yang nota bene mereka adalah kaum-kaum pelajar.
Realita-realita
diatas, rupanya membuka hati stake holders di negara kita, mereka menyadari
bahwa kemerosotan moral merupakan sebuah ancaman besar terhadap keberlangsungan
generasi penerus bangsa. Mereka mengharapkan generasi yang tangguh untuk
melanjutkan bangsa yang besar ini untuk tetap berkibar di muka bumi. Akhirnya,
mereka sebagai pemangku jabatan mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang
diharapkan mampu memperbaiki sistem pendidikan di negara kita. Pendidikan
berbasis karakter adalah sebuah pilihan yang merupakan sebuah upaya untuk
menghasilkan siswa unggul berprestasi yang juga memiliki karakter yang
kuat untuk menyongsong bangsa indonesia
yang bermartabat.
Kenapa
harus pendidikan berkarakter?
Mahatma gandhi mengatakan, ada tujuh dosa
besar di dunia yang salah satunya adalah “ Pengetahuan tanpa karakter
(knowledge without character”. Hal ini dimaksudkan bahwa pengetahuan yang tidak
dilandasi karakter(akhlak), justru akan membawa manusia ke arah perbuatan yang
negatif yang akan merugikan orang lain. Contoh konkret yang marak terjadi di
negara kita adalah prilaku korupsi yang dilakukan oleh para penguasa. Mereka
adalah kaum-kaum berpendidikan yang menyalahgunakan jabatan karena kurangnya
pendidikan moral dalam dirinya. Jadi, pendidikan karakter sangat sesuai dengan
kondisi Indonesia yang mengalami krisis moral dan krisis keteladanan.
Namun
yang menjadi persoalan sekarang adalah masih berlakunya sistem pendidikan yang
bertolak belakang dengan pendidikan karakter, sistem pendidikan saat ini hanya
mengedepankan aspek intelektual tanpa memperhatikan aspek emosional dan
spiritual. Penerimaan Siswa baru misalnya, mereka yang mepunyai kemampuan lebih
dalam hal kecerdasan (pintar) akan memiliki peluang untuk diterima di
sekolah-sekolah favorit tanpa memperhatikan kepribadiannya. Lebih ironisnya
lagi, adalah ketika Ujian Nasional menjadi sebuah syarat kelulusan, hal inipun
sama sekali tidak memperhatikan aspek kepribadian, hanya mengedepankan nilai
yang dihasilkan dari empat puluh atau lima puluh soal ujian atau dari nilai
sekolah yang banyak dimanipulasi oleh orang-orang yang berkepentingan. Praktek
yang dilakukan dalam ujian nasionalpun mengugurkan pendidikan moral yang telah
tertanam. Pelaksanaannya syarat dengan kebohongan, contek masal kerap terjadi
karena mengharap kelulusan. Guru yang seharusnya memberikan teladan malah
menjadi dalang penyimpangan.
Tentu tidak akan ada hasilnya pendidikan moral
apabila sistem pendidikan saat ini masih dipertahakan. Rekam jejak
pelaksanaanyapun menuai permasalahan dan
juga menghabiskan banyak anggaran. Akhirnya, kita harus menyadari bangsa
pendidikan karakter tidak hanya didukung oleh kurikulum yang berbasis karakter
tapi juga harus didukung dengan sistem
pendidikan yang relevan.
Dimuat
di harian Radar Madura edisi senin 19 Maret 2012