Oleh : Mustofa El_abdy
Menjadi
seorang jurnalis merupakan profesi yang sangat mulia, karena dari tangan
jurnalislah semua informasi berkembang sehingga dengan informasi itu dunia
seakan ada digenggaman. Namun, menjadi seorang jurnalis membutuhkan tekad dan
keberaniaan karena yang akan dihadapi adalah tantangan di segala medan liputan,
tak jarang nyawapun harus melayang.
Tentu
kita masih ingat tragedi di aceh Desember 2003 lalu, memang cukup lawas untuk
diperbincangkan. Namun, itulah sebuah kenyataan yang seharusnya menjadi
perhatian berbagai kalangan, terutama para penguasa dan para pejabat
pemerintahan.
Genjatan senjata antara GAM dan TNI
saat itu, sangat menarik perhatian media untuk dijadikan Headline dalam
pemberitaan. Mereka berlomba-lomba untuk meperebutkan posisi menjadi stasiun
yang terdepan mengabarkan peristiwa demi peristiwa. Itulah mungkin yang
dilakukan RCTI saat itu. Salah satu
stasiun TV swasta itu mengirimkan krunya Ferry
santoro dan Ersa Siregar untuk
meliput berbagai peristiwa di Aceh sehingga setiap kejadian dapat dilaporkan
lansung dari lapangan.
Namun, semuanya diluar dugaan Juni
2003 mereka tertangkap oleh GAM. Mereka disandera selama 6 bulan dan tepat
tanggal 29 Desember 2003 Ersa siregar
harus meregang nyawa setelah peluru TNI menembus leher dan dadanya.
Tragis memang dan cukup memperihatinkan bagi kita. Tapi ini tidak semata-mata
karena kesalahan dia dalam melaksanakan tugas jurnalisnya. Namun, semua itu
berpangkal dari penyanderaan yang dilakukan oleh GAM. Mereka melanggar konvensi
Internasional mengenai perlindungan wartawan dan sipil dalam perang. Perlindungan
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga bisa dikatakan gagal dalam
melakukan perundingan dengan pihak GAM. Dengan mereka melakukan penyelesaian
secara diplomatik, tragedi memilukan itu tidak akan terjadi
Namun, Nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah
menjadi arang. Semuanya telah berlalu, sekarang kita hanya bisa berharap semua
kejadian itu tidak akan pernah terrulang. Jurnalis harus benar-benar
mendapatkan perlindungan.